Kabar duka datang dari salah satu klub legendaris Italia, Brescia Calcio. Bukannya kembali ke Serie A pasca terdegradasi di musim 2019/2020, Brescia malah turun kasta ke divisi 3 Liga Italia, Serie C.
Melihat performa di dalam lapangan dan kondisi internal di dalam tim, Brescia memang pantas terdegradasi dari Serie B musim ini. Namun, tidak akan ada yang menyangka kalau mereka akan terdegradasi secara memalukan.
Memalukan! Tak Terima Degradasi, Pendukung Brescia Ricuh!
Brescia harus menghadapi laga hidup dan mati melawan Cosenza di play-out relegasi Serie B. Sebagai tim yang duduk di peringkat 16 klasemen dan punya head-to-head yang lebih superior, Brescia diprediksi akan mampu mengalahkan Cosenza untuk mempertahankan posisinya di kasta kedua Liga Italia.
Meskipun kalah 1-0 di leg pertama yang digelar di Stadio comunale San Vito, markas Cosenza, Brescia juga masih tetap diprediksi akan mampu membalikkan kedudukan di leg kedua yang digelar di Stadio Mario Rigamonti. Akan tetapi, yang terjadi justru bencana.
Brescia berhasil unggul terlebih dahulu di menit ke-74 lewat gol Dimitri Bisoli. Hingga akhirnya Andrea Meroni berhasil menyamakan kedudukan di menit kelima masa injury time yang membuat Cosenza kembali unggul agregat 2-1.
Gol tersebut sudah hampir 100% memastikan Brescia turun kasta ke Serie C. Namun, Davide Massa, wasit yang bertugas di laga tersebut tak sempat meniup peluit akhir usai situasi mencekam terjadi di dalam lapangan. Tak terima timnya kebobolan dan terdegradasi ke Serie C, ultas Brescia yang duduk di Curva Nord menyerbu lapangan, melemparkan kembang api, hingga melepas bom asap ke dalam lapangan.
Laga yang masih menyisakan 90 detik itu pun kemudian dihentikan dengan pemain kedua tim bergegas masuk ke ruang ganti. Kericuhan di dalam lapangan kemudian mereda setelah polisi turun tangan.
Kedua tim lalu melakukan pemanasan untuk kembali melanjutkan pertandingan. Namun, dari luar stadion, beberapa ultras Brescia dilaporkan melempari suporter Cosenza dengan kembang api. Wasit akhirnya meniup peluit akhir yang membuat Brescia resmi terdegradasi secara memalukan ke Serie C Italia.
Kericuhan tak sampai di situ saja. Masalah berlanjut ketika kedua tim dan ribuan suporter Cosenza terjebak selama berjam-jam di dalam stadion Mario Rigamonti. Ini terjadi setelah beberapa ultras Brescia berusaha mendobrak gerbang dan membakar mobil. Ya, kericuhan belum selesai dan malah berlanjut di luar stadion.
Brescia Terdegradasi ke Serie C Sejak 1985, Apa Penyebabnya?
Kericuhan yang terjadi di laga play-off relegasi itu hanya menambah pedih luka Brescia Calcio yang terdegradasi dari Serie B. Hasil memalukan di akhir musim ini menjadikan klub berjuluk “Le Rondinelle” alias burung walet kecil itu turun kasta ke Serie C untuk pertama kalinya sejak 1985.
Hasil pahit di akhir musim ini adalah buah dari Brescia yang dikendalikan secara ugal-ugalan. Bayangkan saja, Brescia 3 kali memecat pelatih dan memakai 4 pelatih berbeda di sepanjang musim ini.
Josep Clotet Ruiz atau yang biasa disapa Pep Clotet jadi pelatih pertama Brescia musim ini. Pelatih asal Spanyol itu menggantikan Eugenio Corini yang di musim lalu mengantar Brescia hingga babak semifinal play-off promosi.
Pep Clotet hanya bertahan 18 pekan. Ia dipecat saat Brescia duduk di peringkat 10. Alfredo Aglietti kemudian ditunjuk sebagai penggantinya. Namun, 26 hari kemudian, Brescia memecat Aglietti. Lucunya, mereka memutuskan kembali menunjuk Pep Clotet. Mirisnya, Pep Clotet hanya ditunjuk untuk kembali dipecat kedua kalinya di musim ini usai hanya 23 hari bekerja.
Brescia yang kala itu duduk di peringkat 16 kemudian menunjuk Davide Possanzini sebagai allenatore anyar. Namun, nasib Possanzini jauh lebih miris ketimbang Alfredo Aglietti. Baru 13 hari bekerja, ia dipecat usai Brescia kembali merosot ke urutan 19. Possanzini pun menyandang status sebagai pelatih dengan masa jabatan terpendek di Serie B musim ini.
Daniele Gastaldello yang pernah jadi pelatih caretaker di musim lalu kemudian ditunjuk untuk menyelamatkan Brescia dari ancaman degradasi. Namun, semuanya sudah terlambat. Meski meraih 3 kemenangan dan hanya kalah 4 kali dalam 13 pertandingan tersisa, Brescia finish di urutan 16 klasemen Serie B yang kemudian membuat mereka harus menjalani laga play-out relegasi melawan Cosenza.
Seperti yang kita tahu, akhir laga tersebut berakhir memalukan bagi “Le Rondinelle”. Secara agregat, Brescia takluk 2-1 dari Cosenza di laga yang dihentikan akibat kericuhan. Mereka pun terdegadasi ke Serie C dengan cara yang tragis.
Massimo Cellino, Pemilik Paling Kejam, Biang Kerok Kehancuran Brescia
Sekali lagi, kegagalan Brescia mempertahankan statusnya di Serie B musim ini adalah karena keugal-ugalan manajemen dalam mengendalikan klub. Muara dari segala keugal-ugalan tersebut tak lain dan tak bukan berasal dari sang pemilik klub itu sendiri, Massimo Cellino.
Pemecatan demi pemecatan yang membuat Brescia gagal tampil stabil dan berakhir menyedihkan adalah karena ulah Massimo Cellino. Pria berusia 66 tahun itu dikenal sebagai pemilik klub yang kejam dan memiliki hobi memecat pelatih.
Mengutip dari Football Italia, pemecatan Davide Possanzini pada 20 Februari lalu membuat Massimo Cellino tercatat telah memecat 52 pelatih dalam 31 tahun kariernya sebagai pemilik klub. Konyolnya, Cellino juga suka mempekerjakan kembali pelatih yang pernah ia pecat. Pep Clotet di musim ini adalah contohnya.
Karena ulahnya yang ugal-ugalan itu, ultras Brescia pernah menyerbu tribun dan mencari-cari Cellino usai Brescia takluk dari Genoa di giornata 30. Cellino kemudian kabur dan dikabarkan sampai mengurung diri di dalam ruang ganti pemain demi menghindari amarah ultras Brescia.
Cellino tak hanya hobi memecat pelatih. Mantan pemilik Cagliari dan Leeds United itu juga suka ikut campur dalam urusan teknis. Pernah dalam sebuah pertandingan dua musim lalu, Cellino turun ke lapangan dan bertingkah bagaikan pelatih usai Pep Clotet diusir dari pinggir lapangan.
Massimo Cellino juga dikenal temperamental dan suka marah-marah serta berkata kasar. Sebelum memecat Possanzini, Cellino dikabarkan masuk ke ruang ganti pemain di jeda babak pertama dan menyalahkan sang pelatih di depan pemainnya sendiri.
Segila dan sekonyol itu Massimo Cellino mengendalikan Brescia. Mencoba memahami keputusan Cellino sama sulitnya ketika kita mencoba memahami kepercayaanya kepada takhayul.
Cellino percaya kalau angka 17 adalah angka sial. Di setiap klub yang ia miliki, penggunaan jersey bernomor 17 tak hanya dilarang, tetapi juga dihapus. Semua bangku stadion bernomor 17 juga diganti menjadi 16B. Bahkan, tidak ada tempat dalam timnya bagi pemain yang lahir di tanggal 17.
Selain itu, Massimo Cellino juga percaya kalau penampilan buruk timnya terkadang dipengaruhi oleh energi negatif. Oleh karena itu, ia tak jarang memanggil pendeta untuk melakukan pengusiran setan di tempat latihan.
Tindakan yang sulit dipercaya itu kembali terjadi pada Brescia. Apakah itu membantu Brescia tampil bagus? Sayangnya, tidak. Setelah melakukan pengusiran setan, Brescia malah langsung takluk dari Benevento.
Serangkaian performa buruk di lapangan, tindakan ricuh ultras di luar lapangan, serta keputusan konyol dan tidak masuk akal dari Massimo Cellino seperti menasbihkan Brescia kalau mereka memang pantas turun kasta ke Serie C.
Miris, sebab dulu kita mengenal Brescia sebagai tim bersejarah yang pernah meramaikan persaingan di Serie A, khususnya di awal era 2000an. Kala itu, Brescia pernah finish di peringkat 8 Serie A dan menjadi runner-up Piala Intertoto.
Prestasi tersebut Brescia raih berkat sosok Roberto Baggio. Baggio yang pensiun bersama Brescia pada 2004 silam bisa dibilang sebagai sosok yang membuat “Le Rondinelle” menjadi klub yang cukup dipandang di masanya.
Sayangnya, kini nasib Brescia seperti sebuah klub yang terkena kanker. Melihat Brescia diperlakukan secara layak, tanpa gimmick, dan tanpa drama ala Massimo Cellino saja sudah bersyukur. Oleh karena itu, selama Massimo Cellino masih memegang kendali klub, kita akan sulit melihat Brescia kembali seperti sedia kala.
Referensi: Football Italia, Football Italia, Gazzetta, Gazzetta, Transfermerkt.