Dulu Sempat Berjaya, Sekarang Compang-Camping

Bak kisah di negeri dongeng, sebuah klub medioker Liga Inggris bernama Wigan Athletic pernah merasakan gelar juara Piala FA dan terdegradasi di satu musim sekaligus. Fenomena perjalanan klub berjuluk The Latics ini patut menjadi salah satu sejarah yang unik di Inggris. Lalu setelah kisah itu, ke mana Wigan sekarang?

Faktanya klub yang berlogo pohon beringin itu beberapa tahun terakhir ini kerap diterpa badai angin yang kencang. Ibarat pohon besar mereka perlahan runtuh tak kuasa menahan beberapa masalah yang menimpanya. Wigan kini tak ubahnya klub pesakitan yang nasibnya tak karuan. Lalu apa sih sebenarnya yang terjadi pada Wigan?

Promosi Dan Mengejutkan Liga Inggris

Wigan sebagai klub yang tak banyak mempunyai sejarah dan prestasi di Liga Inggris, sontak mengejutkan performanya setelah mereka promosi ke Liga Inggris pada musim 2005/06. Mereka mampu finis di posisi 10 besar Liga Inggris dan secara mengejutkan mampu tampil hingga final Piala Liga. Tapi sayang, The Latics yang diasuh Paul Jewell ketika itu harus mengakui keunggulan MU.

Namun setelah momen tersebut, sinar Wigan redup karena kebijakan sang pemilik Dave Whelan yang sering berbisnis menjual pemain pilarnya demi meraup banyak keuntungan. Pemilik yang dijadikan singkatan nama stadion mereka, DW stadium itu jadi biang kerok melempemnya prestasi Wigan selama bertahun-tahun terakhir di Liga Inggris.

Akibatnya, Wigan setelah musim yang mengejutkan itu, harus puas selalu berada diambang jalur degradasi tiap musimnya. Sampai akhirnya imbas terbesarnya muncul di fenomena musim 2012/13

Momen Juara FA Cup dan Terdegradasi

Roberto Martinez yang ditunjuk sebagai pelatih sejak 2009 mengantarkan Wigan ke final Piala FA menantang Manchester City. Tapi kali ini hasilnya Wigan beruntung bisa mengalahkan Manchester City 1-0 di Wembley. Kemenangan itu sekaligus membuat Wigan melahirkan sejarah dengan meraih trofi tertua di Inggris tersebut dan berhak lolos ke Europa League.

Tapi tunggu dulu, selang beberapa hari setelah pesta kemenangan yang penuh kebahagiaan di Wembley itu, tiba-tiba berbalik dengan suasana tangis dan kesedihan. Karena The Latics ketika itu tak kuasa bertahan di Liga Inggris dan harus terdegradasi karena hanya duduk di peringkat 18 Premier League.

Wigan sambil membawa Piala FA, akhirnya kembali bernostalgia dengan Championship. Tak hanya kesedihan karena harus turun kasta, The Latics juga dirundung kesedihan lain berupa krisis.

Krisis yang melanda JJB Sports memaksa sang pemilik Dave Whelan menjual sebagian saham Wigan ke pasaran. Hal tersebut juga diperparah dengan minimnya pemasukan dari hak siar dan sedikitnya penjualan tiket pertandingan.

Bertambahnya gaji beberapa pemain membuat pengeluaran mereka untuk gaji membengkak. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada musim itu mereka melego 15 pemain.

Tim Yoyo Championship dan League One

Sampai akhirnya dengan beberapa akumulasi masalah itu, Wigan kembali merasakan pahitnya terdegradasi. Mereka terdegradasi ke League One di musim 2014/15 setelah duduk di posisi 23 klasemen Championship. Sejak saat itulah nama Wigan tak banyak dibicarakan orang.

Dari beberapa dampak krisis seperti penjualan pemain pilar, serta perekrutan yang tak tepat, Wigan pun kesusahan untuk bangkit. Untung mereka punya mantan pemain mereka, Gary Caldwell yang menjadi pelatih. Caldwell dengan skuad seadanya mampu menyalakan api harapan dengan mengantarkan Wigan promosi lagi ke Championship pada musim 2015/16.

Namun anehnya, di musim berikutnya Caldwell bukannya malah membuat Wigan mengais asa kembali ke Liga Inggris lebih cepat, tapi ia justru mengantarkan The Latics kembali terdegradasi ke League One setelah hanya duduk di papan 23 klasemen Championship.

Wigan tak ubahnya di masa itu sebagai tim yoyo yang keluar masuk Championship dan League One. Pasca Caldwell, Wigan juga sempat dibawa Paul Cook promosi lagi ke Championship di musim 2017/18, namun terdegradasi lagi di musim 2019/20. Musim itu Wigan terdegradasi dari Championship setelah mendapat pengurangan 12 poin buntut kasus administratif gaji di masa pandemi Covid-19.

Pemilik Timur Tengah

Sempat di bawah kepemilikan baru International Entertainment Corporation (IEC) yang mengambil alih Dave Whelan pada 2018, sang pemilik Wigan kembali beralih pada perusahan bernama Phoenix 2021 Limited hingga sekarang.

Di bawah kepemilikan sultan asal Bahrain, Talal Al-Hammad, Wigan diharapkan tak lagi mengulangi beberapa kesalahan masa lalu yang berimbas pada tim yang terpuruk. Wajarnya seperti beberapa pemilik Timur Tengah lainnya, harusnya Wigan terbuka untuk cepat bangkit kembali.

Benar saja, harapan itu muncul ketika The Latics di bawah Leam Richardson mampu kembali promosi ke Championship setelah menjadi juara di League One pada musim 2021/22. Namun kebahagiaan itu hanya sementara, karena setelah itu petaka finansial kembali menghampiri Wigan.

Di bawah Talal Al-Hammad, terjadi likuiditas dalam finansial Wigan yang memaksa tim terhambat memenuhi kebutuhan operasional pasca Covid-19. Akibatnya Wigan menunggak gaji para pemainnya hingga berbulan-bulan.

Hal itu pun sampai pada kekesalan para pemainnya yang sudah mulai speak up tentang hal ini. Termasuk bek mereka Steven Caulker di media sosial pribadinya. Bahkan para pemain Wigan sempat mogok latihan berkat peristiwa ini. Lalu bagaimana tanggapan pemilik?

Talal Al-Hammad ternyata pasang badan atas hal ini. Ia dengan legowo mengakui masalah ini mengganggunya dan mengakibatkan gaji para pemain ditunggak dari Juli 2022 hingga Maret 2023.

Namun kini dirinya mengklaim, dalam jatuh tempo 10 Maret 2023, ia sudah merampungkan semua urusan pelunasan gaji para pemain Wigan. Ia juga mengatakan akan menjamin 100 persen bahwa Wigan bakal terus dibawanya stabil dalam hal keuangan kedepannya.

Pengurangan Poin dan Ancaman Degradasi

Namun nasi telah menjadi bubur. Sebelum gaji para pemain mereka dilunasi, Wigan terlebih dahulu terkena sanksi dari EFL berupa pengurangan tiga poin.

Pengurangan poin sebenarnya tidak terlalu jadi masalah kalau Wigan di bawah pelatih Shaun Maloney duduk di peringkat atas. Celakanya di bawah asuhan mantan pemainnya itu, Wigan mengalami keterpurukan di papan bawah musim ini. Ditambah pengurangan poin, kini Wigan makin terdampar di dasar klasemen Championship.

Keadaan keruh seperti ini sangat disayangkan. Sebab, pengurangan poin itu bisa saja memaksa Wigan untuk turun lagi ke League One musim depan. Dengan kata lain, di bawah pemilik timur tengah ini Wigan sepertinya tak belajar dari pengalaman kelam masa lalu.

Krisis, hukuman pengurangan poin, penunggakan gaji, serta jadi tim yoyo adalah beberapa catatan buruk yang terus diulang-ulang oleh Wigan hingga saat ini. Untuk itu, kita hanya bisa bertanya-tanya, entah kapan lagi kita bisa melihat klub berlogo pohon beringin itu kembali tampil mengejutkan di liga kasta tertinggi, Premier League.

Sumber Referensi : wiganathletic.com, theathletic, talksports, skysports, theathletic

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme: Code Blog by Crimson Themes.