Kesuksesan Marcello Lippi Melatih Klub dan Timnas, Walau Gagal Total Sebagai Pemain

Saat melatih Real Madrid pada Januari 2016, Zinedine Zidane meraih tiga gelar Liga Champions berturut-turut: tahun 2016, 2017, dan 2018. Antonio Conte menyabet empat scudetto di Italia: tiga bersama Juventus dan satu kala melatih Inter. Conte juga memberikan satu gelar Premier League untuk Chelsea.

Di Rusia, Didier Deschamps yang pernah sukses menukangi Marseille membawa Timnas Prancis juara di Piala Dunia 2018. Sementara itu di Rusia, Massimo Carrera menyumbang dua gelar bagi Spartak Moscow. Zidane, Conte, Deschamps, dan Carrera terhubung dengan satu orang yang sama. Orang itu adalah Marcello Lippi.

Kesuksesan Lippi saat menjadi pelatih tak terbantahkan. Di klub jelas ia sukses. Saat menukangi tim nasional, oh ya ampun, siapa yang tidak ingat ketika Italia juara Piala Dunia 2006? Sebagai pelatih, Lippi tidak hanya berhasil menyumbangkan gelar, tapi juga menciptakan warisan.

Orang-orang yang disebutkan tadi contohnya. Namun, siapa mengira kalau Marcello Lippi yang berhasil menjadi pelatih itu pernah mengalami masa suram saat menjadi pemain, bahkan bisa disebut gagal total?

Karier Pemain

Lippi lahir di Viareggio, letaknya di pesisir Laut Tyrrhenian. Lokasi yang juga menjadi tempat kelahiran wasit Pierluigi Collina dan sutradara film Mario Monicelli. Lippi mengawali karier profesionalnya sebagai seorang bek di klub Sampdoria pada tahun 1969.

Lippi menghabiskan sebagian besar kariernya di Sampdoria tahun 1969-1979. Meski satu musim ia pernah dipinjamkan ke Savona musim 1969/70. Saat menjadi pesepakbola, Lippi menghabiskan seluruh kariernya sebagai bek penyapu. Tugasnya, ya mengamankan bola saja.

Selama berseragam Sampdoria, Lippi mencatatkan 274 kaps. Namun, ia tak mendapat penghargaan apa-apa di sana. Kemampuan Lippi sebagai seorang bek memang bagus, namun kariernya tak membuat klub-klub besar kepincut. Apalagi Sampdoria termasuk tim papan bawah.

Alih-alih pindah ke tim besar, Lippi justru hanya memperkuat tim-tim di divisi bawah seperti US Pistoiese yang sekarang berada di Serie D dan AS Lucchese yang sekarang berada di Serie C. Tahun 1982, Lippi memutuskan gantung sepatu. Pada waktu itu, usianya baru 34 tahun dan ia bertekad untuk berkarier sebagai pelatih.

Salah satu mimpinya adalah menukangi tim nasional Italia. Namun, pada saat itu, hasratnya terasa mustahil. Lippi belum pernah sekali pun mendapat kesempatan bermain untuk Timnas Italia di level senior. Satu-satunya modal yang ia bawa adalah bermain di skuad utama Sampdoria.

Berawal dari Tim Kecil

Lippi membulatkan tekadnya untuk menjadi pelatih. Satu-satunya jalan yang harus ia lalui adalah memulainya dari titik yang paling bawah, yakni dengan menukangi tim muda Sampdoria. Sebagai mantan pemain, rasanya tak sulit baginya untuk membujuk agar Sampdoria mau memberinya kesempatan melatih.

Tiga tahun penuh mengabdikan diri di tim muda Sampdoria, Lippi memilih jalan yang lebih sulit untuk melatih tim kecil lainnya. Alih-alih melatih tim utama Sampdoria, yang waktu itu masih nyaman dilatih Vujadin Boskov, Lippi merambah tim-tim kecil seperti Siena, Pistoiese, Carrarese, Cesena, Lucchese, sampai Atalanta. 

Saat melatih tim-tim kecil itu nama Lippi tak dikenal. Filosofi permainannya belum terbentuk. Baru ketika menukangi Napoli pada 1993, Lippi mulai memperlihatkan kekuatannya dalam melatih. Namun, Napoli pada waktu itu sedang mengalami kekacauan finansial luar biasa pasca Diego Maradona.

Lippi kemudian menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi krisis itu. Ia melindungi para pemainnya agar tak usah mengurusi apa yang terjadi di lapangan. Dorongan untuk selalu fokus ke lapangan, fokus ke kekuatan tim secara kohesif selalu ditekankan Lippi. Ia melihat tim seperti mobil, semua bagian harus berfungsi agar mobil itu bisa berguna.

Ia memulai pendekatan individu per individu yang luar biasa. Hingga akhirnya, ia menggiring Partenopei keluar dari kondisi suram. Membimbing Napoli ke kualifikasi Piala UEFA 1993/94. Tak ada trofi yang dipersembahkannya untuk Napoli. Tapi itu menjadi gerbang menuju hal-hal yang lebih besar lainnya.

Kesuksesan Hebat Bersama Juventus

Hanya semusim Lippi melatih Napoli, sebuah tawaran dari Juventus masuk. Presiden Bianconeri kala itu, Vittorio Chiusano terkesan melihat Napoli di bawah asuhan Lippi saat tim itu bersua Juventus. Secara pribadi Chiusano menyukai Lippi. Ia pun menunjuknya sebagai suksesor Giovanni Trapattoni.

Ini misi yang sulit bagi Lippi. Menggantikan seorang pelatih yang telah memberikan trofi tak pernah menjadi urusan yang mudah. Namun, seperti digambarkan These Football Times, bahwa kedatangan Lippi ke Juventus ibarat Christopher Nolan ketika mengambil pekerjaan di franchise Batman. Seorang pria yang sama sekali tidak takut untuk mengubah keadaan.

Saat Lippi tiba di Juventus, ia tidak takut untuk menemui para petinggi. Ia berani menuntut tim agar sesuai dengan keinginannya. Di bawah Lippi, Juventus tak memerlukan transisi. Lippi datang, melakukan pekerjaannya, dan memberi gelar. 

Musim pertama di Juventus, gelar Coppa Italia dan Serie A diraih. Ajib bukan? Seorang pelatih dari klub sangat-sangat semenjana, tiba-tiba menjuarai dua trofi di musim pertamanya melatih Juventus.

Juventus dan Pujian Fergie

Dua trofi itu nyatanya menjadi permulaan kisah Juventus mendominasi Italia. Gelar demi gelar diraih Lippi selama menukangi Juventus. Ia membawa tim itu meraih lima gelar Serie A, satu Liga Champions, satu Piala Super Eropa, satu Coppa Italia, empat kali Piala Super Italia.

Selama di Juventus ia juga meraih dua kali penghargaan pelatih klub terbaik di dunia. Tak sampai di situ, Lippi menemukan playmaker berbakat Zinedine Zidane dan striker penghancur Christian Vieri. Gaya melatih Lippi sangat tegas. Ia tidak akan mempertahankan mati-matian seorang pemain, sekalipun seorang bintang.

Lihatlah bagaimana Lippi sangat berani melepas Roberto Baggio ke AC Milan, rival Juventus. Lippi meyakini bahwa Pemain terbaik, tidak selalu menjadi tim terbaik. Keyakinan itulah yang kemudian diamini oleh Sir Alex Ferguson. Fergie sangat menggemari pelatih asal Italia itu. Gaya dan filosofi Lippi menginspirasi Fergie dalam melatih, terutama ketika menukangi Manchester United.

“Lippi sosok yang mengesankan. Menatap matanya sudah cukup memberi tahu bahwa anda sedang berhadapan dengan seseorang yang menguasai dirinya sendiri dan profesionalismenya,” tulis Fergie dalam bukunya Managing My Life.

Tidak banyak pelatih yang dikagumi Fergie, tapi jelas Lippi adalah salah satunya. Bagi Fergie, Lippi punya kewibawaan seperti Ottmar Hitzfeld. Lippi juga manajer gaya Eropa yang sangat berbakat. Pada pertengahan 1990-an, orang seperti Ottmar dan Lippi memang menjadi trendsetter ahli taktik pemula, tak terkecuali Fergie.

Timnas Italia dan Guangzhou

Harapan untuk melatih Timnas Italia akhirnya terwujud pada tahun 2004. Sekali lagi, Lippi masuk untuk menggantikan Giovanni Trapattoni. Penampilan Italia di EURO 2004 selama ditukangi Trapattoni mengecewakan. Besar harapan setelah digantikan Lippi, Italia bisa bangkit.

Seperti saat melatih Juve, di Timnas Italia Lippi tak mau taat dengan sistem yang ada. Ia merotasi beberapa pemain. Lippi juga mengadopsi lebih dari satu taktik demi memainkan dua playmaker bintangnya sekaligus: Andrea Pirlo dan Francesco Totti.

Lippi membawa Gli Azzurri ke putaran final Piala Dunia 2006 dengan mudah. Meski di bawah pengawasan karena kasus Calciopoli, lantaran ikatannya dengan Juventus, tapi apa yang dilakukan Lippi di Timnas Italia mendulang pujian. Puncaknya, Lippi membawa Italia juara di Piala Dunia 2006.

Di final, Lippi memasukkan Pirlo dan Totti bersamaan. Pirlo ditaruh sebagai gelandang tengah berdampingan dengan Gennaro Gattuso. Lalu, Totti berada di belakang Luca Toni sebagai penyerang lubang. Simone Perrotta dan Camoranesi diplot pemain sayap. Materazzi, Cannavaro, Zambrotta, dan Grosso dijadikan tembok untuk meringankan kerja Buffon.

Sayangnya, kesuksesan di edisi 2006 tak diulangi di tahun 2010. Meski membawa Italia ke perempat final EURO 2008, kegagalan di tahun 2010 membuatnya mundur. Namun, apakah kisah kegemilangannya selesai? Tidak. Ia kembali melatih klub sepak bola dengan melancong ke China.

Lippi melanjutkan kejayaannya bersama Guangzhou Evergrande. Di tim yang sekarang bangkrut itu, Lippi meraih tiga trofi Liga Super China dan satu trofi Piala China. Dan…. Lippi juga mengantarkan Guangzhou Evergrande juara Liga Champions Asia musim 2012/13.

Dengan trofi itu, Lippi sah menyandang satu-satunya pelatih yang pernah meraih gelar Liga Champions Eropa dan Liga Champions Asia. Begitulah Lippi. Lewat cerutunya, gelar, penghargaan, warisan, dan bahkan pelatih-pelatih top lahir. Walaupun sekali lagi, ia gagal sebagai pemain. Grazie, Lippi!

Sumber: TheseFootballTimes, Independent, Sportskeeda, PanditFootball, IrishTimes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme: Code Blog by Crimson Themes.