Ambisi adalah kata yang hampir jadi sinonim untuk kebanyakan pesepakbola. Ambisi lah yang membuat mereka bisa menanjaki tangga karir. Itu juga yang menuntun mereka pada kesuksesan.
Berbeda dengan Dimitri Payet. Ambisi bukan hal yang melekat padanya. Puncak karirnya datang di Premier League saat bermain untuk West Ham. Dengan kecepatan, skill, dan kemampuan tendangan bebasnya, Payet jadi playmaker paling ditakuti di Premier League.
Tapi sayangnya itu tidak bertahan lama. Di tahun 2017, setelah hanya satu setengah musim bersinar, ia memilih untuk hengkang. Kepergiannya ke Marseille yang tiba-tiba masih membuat fans West Ham belum bisa memaafkannya. Beberapa justru melabelinya dengan sebutan pengkhianat.
Bagi para pecinta sepak bola lainnya, keputusan Payet itu tidak masuk akal. Ia berada di puncak karir, dimana banyak klub tertarik merekrutnya. Bagaimana bisa ia tak berkembang lebih jauh lagi?
Mewujudkan Mimpi Ayah
Perjalanan Payet menuju titik itu adalah perjalanan yang sangat panjang. Ia besar di pulau kecil teritori Prancis di Afrika bernama Reunion. Pulau itu sangat kecil, populasinya saja tidak lebih besar dari kota Jakarta.
Di usia 12 tahun, bakatnya sudah tercium oleh akademi La Havre di Prancis. Tapi alih-alih menembus karir profesional, empat tahun kemudian ia malah memilih pulang. Payet sudah kecewa karena tidak kunjung dapat kesempatan bermain di level senior.
Dilansir dari these football times, pengalaman itu sempat membuatnya putus asa. Ia sampai bertekad tak ingin pergi merantau lagi.
“Saya sedikit trauma dengan pengalaman itu. Saya mengira karir saya sudah habis. Sampai-sampai saya memutuskan ingin tinggal di Reunion saja dan hanya bermain bola di sana” Kenang Payet.
Sebenarnya masih banyak klub yang menginginkannya. Salah satunya Nantes. Tapi Payet sudah bertekad tak ingin berkarir di Prancis. Ia ingin dekat dengan rumahnya saja.
Yang membuat keputusan Payet akhirnya berubah adalah ayahnya. Ayahnya, Alain juga mantan pesepakbola, tapi ia tidak pernah punya kesempatan untuk berkarir ke luar negeri. Jadi Payet tahu dengan berkarir di Prancis, itu bisa mewujudkan mimpi ayahnya.
“Saya sudah muak dengan perbincangan berkarir di Prancis. Tapi saya menerima tawaran dari Nantes untuk ayah saya. Karena sepak bola adalah passionnya dan dia tidak pernah punya kesempatan berkarir di luar Reunion.”
Berangkat lah ia ke Prancis untuk yang kedua kalinya. Kali ini Nantes jadi kota pelabuhannya. Ini jadi pintu Payet menuju sepak bola profesional. Ia pun akhirnya menjalani debut profesionalnya di usia 18 tahun di tahun 2005. Meski hanya sebentar.
Pemain Temperamental
Sebenarnya Ia bermain secara reguler di tim akademi Nantes. Ia masih belum dipercaya masuk tim utama. Itu juga berarti ia belum dapat cukup uang untuk hidup dari sepak bola. Payet sampai harus kerja sambilan sebagai penjaga toko di salah satu toko pakaian kota Nantes.
Itu ia lakukan sampai tahun 2006, dimana Payet akhirnya dapat tempat reguler di tim utama. Penampilannya di atas lapangan langsung menarik perhatian. ia pun dipercaya tampil di 30 pertandingan Ligue 1 musim 2006/07.
Meskipun tampil baik di atas lapangan, Payet memiliki masalah konsistensi. Ia juga sering terlibat masalah dengan para pelatih. Pertama saat di Nantes, kemudian ia pindah ke Saint Etienne setelah Nantes terdegradasi, lalu ke Lille di tahun 2011.
Mantan direktur olahraga Saint Etienne, Damien Comolli pernah berkata: “Dimitri sama sekali tidak mendengarkan perkataan manajernya. Ia juga tempramental dan akan bereaksi buruk jika sesuatu tidak sejalan dengan keinginannya. Dia sangat membuat frustasi” Ucapnya dikutip dari Vice.
Payet akhirnya pindah ke Marseille di tahun 2013. Ia bisa tampil bagus di musim debutnya dengan mencetak 8 gol dan 6 assist. Tapi titik balik Payet adalah di musim setelahnya, yaitu musim 2014/15. Saat itu Marseille mendatangkan Marcelo Bielsa sebagai pelatih baru mereka.
Bielsa Effect
Bisa dibilang Bielsa memegang peran terbesar dalam perkembangan Payet. Seperti Thierry Henry di bawah asuhan Arsene Wenger dan Cristiano dalam bimbingan Sir Alex Ferguson, Bielsa mengubah Payet jadi pemain mematikan.
“Bielsa membuat saya tidak bermain di beberapa pertandingan. Tapi itu yang membuat saya fokus. Dia benar, saya jadi sangat konsisten setelah itu. Bielsa membuat saya lebih dewasa” Ucap Payet dikutip dari Vice.
Bielsa tau bagaimana cara memaksimalkan potensi Payet. Yang dibutuhkan seorang pemain seperti Payet adalah misi. Saat itu ia sudah tidak dipanggil ke skuad Prancis untuk Piala Dunia 2014. Dengan ditambah tidak memainkannya di klub, itu membuat Payet merasa harus membuktikan sesuatu yang lebih.
Hasilnya bisa dilihat di musim 2014/15, Payet tampil di 36 pertandingan liga. Ia memang hanya mencetak 7 gol, tapi ia sukses mencetak 21 assist. Ia juga tercatat sebagai pemain yang paling banyak menciptakan peluang di liga top Eropa. Ya, lebih banyak dibanding Messi.
Menaklukkan Premier League
Sayangnya kiprah Payet di Marseille tidak bertahan lama. Klub dilanda masalah finansial sehingga mereka harus menjual beberapa pemainnya. Beberapa klub sudah mengawasi Payet. Tapi West Ham lah yang paling serius.
The Hammers baru saja menyelesaikan musim yang penuh bencana. Di musim 2014/15 West Ham hanya finis di peringkat ke-12. Mereka sampai mengangkat Slaven Bilic sebagai pelatih baru untuk musim 2015/16.
Bilic sudah menginginkan Payet di skuadnya sejak awal. Dikutip dari the athletic, Bilic berkata: “Saya sangat suka Payet. Tidak hanya ia akan mencapai banyak hal. Tapi ia juga akan membuat pemain lain lebih baik. Mereka akan menerima umpan yang belum pernah mereka terima dan akan mencetak gol yang belum pernah mereka cetak”
West Ham menebus harga 10 juta pounds di tahun 2015. Usia payet saat itu sudah 28 tahun. Mungkin kalau ia berusia 22 tahun harganya lebih mahal. Tapi Payet tidak butuh waktu lama untuk membuktikan harga itu masih yang terlalu murah untuknya.
West Ham memenangkan 6 dari 10 pertandingan pertama mereka di Premier League musim 2015/16. Dari 10 pertandingan pertamanya itu, Payet mencetak 5 gol dan 3 assist. West Ham bisa naik ke peringkat 5 sampai matchday ke-12. Sayangnya di pertandingan pekan ke-12 itu lawan Everton, Payet mengalami cedera ankle. Membuatnya harus melewatkan 7 pertandingan di Liga.
West Ham terbukti sangat membutuhkan Payet. Sebab saat Payet cedera, saat itu juga performa West Ham menurun. Mereka tidak pernah menang dalam 6 pertandingan selanjutnya. The Hammers juga hanya mencetak 3 gol dari 6 laga itu.
Untungnya Payet bisa kembali merumput saat West Ham mengalahkan Liverpool 2-0 di kandang. West Ham akhirnya bisa finis di peringkat ke-7 dan memastikan tempat kualifikasi Europa League. Payet sendiri bersinar dengan mencetak 12 gol dan 15 assist di semua kompetisi.
One Hit Wonder
Musim itu Payet benar-benar menunjukkan apa itu bakat kepada dunia. Berkali-kali ia mengejutkan pecinta sepak bola dengan skillnya. Tendangan bebasnya saat melawan Crystal Palace begitu menyihir dan pantas jadi freekick terbaik sepanjang sejarah Premier League.
Payet juga akhirnya dipanggil timnas Prancis untuk Euro 2016. Sekali lagi ia menyihir penonton dengan skillnya. Ia membawa Prancis sampai ke final dengan mencetak 3 gol dan 2 assist.
Di tahun 2016, Payet sebenarnya dapat banyak penawaran. Salah satunya raksasa Spanyol Real Madrid Tapi West Ham tahu kalau ia adalah investasi yang berharga. The Hammers tak berniat menjualnya. Payet juga tak berniat untuk pindah.
“Saya mendengar rumor itu dan saya tersanjung. Tapi saya cinta West Ham. Saya 100% bertahan di sini. Saya cinta klub dan para fans mencintai saya” Ucap Payet dikutip dari Bleacher Report.
Kata-kata itu tentu memberikan harapan para fans. Mereka percaya Payet bisa memimpin klub ke era baru. Bersamaan dengan London Stadium yang jadi rumah baru mereka di musim 2016/17.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kemampuan Payet menurun drastis. Di 15 pertandingan pertama liga, Payet juga hanya mencetak 2 gol. West Ham menelan 8 kekalahan dan 4 kali imbang. Mereka terjun ke peringkat 17.
Le Snake
Semua itu semakin parah setelah Payet jelas mengatakan ingin pergi. Ia tidak membuat keinginannya itu jadi rahasia. Payet secara terang-terangan mengungkapkannya ke media.
“Saya tahu bagaimana caranya jadi bajingan. Itu salah satu keahlian saya. Saat saya ingin membuat orang marah, maka saya akan melakukannya. Ini adalah cara saya untuk didengar” Ucap Payet dikutip dari these football times.
Tentu saja, keputusan Payet untuk pindah membuat banyak fans kecewa. Apalagi Payet juga pernah berkata kalau alasannya pergi adalah ia bosan main di klub medioker. Menurutnya, West Ham sudah jadi tim yang bermain terlalu defensif.
“Saya tidak punya keinginan untuk bermain di klub kelas bawah Premier League. Sistem tim yang bertahan membuat saya tidak menikmati permainan. Saya bekerja keras di setiap laga tanpa menikmatinya” Ucap Payet dilansir dari the guardian.
Ini membuat Payet menolak untuk berlatih dan bermain. Meskipun ia bilang masalah utamanya adalah taktik, tapi sepertinya keinginannya hanya satu saat itu, yaitu pulang ke Marseille. Ada kecurigaan kalau keinginan Payet untuk pindah ada kaitannya dengan kondisi keuangan Marseille yang membaik setelah dapat investor baru.
Ya, benar saja. Di tahun 2017 West Ham menerima tawaran Marseille untuk Payet. Payet bahkan rela menerima pemotongan gaji. Tentu saja, langkah ini membuat fans marah. Para penggemar hammers punya julukan baru untuknya. Le Snake. Mengisyaratkan kalau Payet adalah ular pengkhianat.
Alasan Sebenarnya Tinggalkan West Ham
Namun setelah bertahun-tahun menolak buka mulut, Payet akhirnya mengungkapkan alasan sebenarnya ia ingin hengkang. Ternyata itu demi keluarganya. Istri dan tiga anaknya tidak suka lingkungan London. Keluarga Payet lebih bahagia berada di Marseille.
“Liga Premier membantu saya mewujudkan mimpi. Tapi keputusan ini lebih untuk keluarga. Saya tidak ingin apapun selain bisa bermain bagus di lapangan. Untuk itu, saya perlu bahagia. Namun jika keluarga saya tidak bahagia maka saya juga tidak bahagia. Karena itu saya ambil keputusan untuk pulang.”
Bermain di liga Prancis memang meredupkan sinar yang telah ia bangun di Premier League. Payet sudah tidak dipanggil ke timnas Prancis di Piala Dunia 2018. Ia juga sudah tak dapat tawaran pindah ke klub besar lain.
Tapi kita memang terbiasa mendengar kisah ambisi seorang pemain di dunia sepak bola. Kadang kita lupa kalau mereka juga manusia. Payet membuktikan itu. Ia memilih kebahagiaannya dan keluarganya. Payet bertahan di Marseille sampai tahun 2023, setelah ditawari pensiun meski kontraknya di klub masih ada satu tahun.
Sumber referensi: Times, Vice, TFT, Mirror, Daily, Guardian, Guardian 2, Athletic, B/R